Masa pensiun: 2008–2016
Setelah memasuki masa pensiun, kesehatan Castro memburuk; pers internasional menduga bahwa ia terserang divertikulitis, tetapi pemerintah Kuba menolak membenarkan dugaan tersebut.[321] Ia masih berinteraksi dengan rakyat Kuba, menerbitkan sebuah kolom opini yang berjudul "Refleksi" di koran Granma, dan memberikan ceramah publik.[321] Pada Januari 2009, Castro meminta kepada rakyat Kuba agar tidak khawatir dengan kondisi kesehatannya yang memburuk, dan agar tidak terpukul jika ia harus menjemput ajal.[322] Ia masih bertemu dengan pemimpin dan tamu asing, dan pada bulan yang sama foto-foto pertemuan Castro dengan Presiden Argentina Cristina Fernández dirilis.[323]
Pada Juli 2010, ia muncul di muka umum untuk pertama kalinya semenjak ia jatuh sakit. Ia menyambut para pekerja pusat sains dan memberikan sebuah wawancara televisi kepada Mesa Redonda. Di dalam wawancara tersebut, ia membahas ketegangan AS dengan Iran dan Korea Utara.[324] Pada 7 Agustus 2010, Castro menyampaikan ceramah pertamanya di hadapan Majelis Nasional dalam rentang waktu empat tahun terakhir, dan ia menyerukan kepada AS agar tidak menyerang negara-negara tersebut dan juga memperingatkan AS akan bahaya holokaus nuklir.[325] Saat ditanya apakah Castro akan kembali ke pemerintahan, Menteri Kebudayaan Abel Prieto berkata kepada BBC, "Saya rasa ia selalu ada dalam kehidupan politik Kuba meskipun ia tidak dalam pemerintahan ... Ia sangat berhati-hati terkait dengan hal tersebut. Perjuangan besarnya adalah urusan internasional."[326]
Pada 19 April 2011, Castro mengundurkan diri dari komite pusat Partai Komunis,[327] sehingga ia tidak lagi menjadi pemimpin partai. Raúl kemudian terpilih menjadi penerusnya.[328] Pada Maret 2011, Castro mengecam intervensi militer NATO di Libya.[329] Pada Maret 2012, Paus Benediktus XVI mengunjungi Kuba selama tiga hari, dan selama kunjungan tersebut Paus sempat bertemu dengan Castro, meskipun Paus sebelumnya lantang bersuara menentang pemerintahan Kuba.[321][330] Belakangan, pada tahun yang sama, telah terkuak bahwa Castro dan Hugo Chávez berperan penting dalam mengatur perundingan antara pemerintah Kolombia dengan kelompok gerilyawan yang berhaluan kiri jauh, FARC, untuk mengakhiri konflik yang telah terjadi sejak 1964.[331] Kemudian, selama terjadinya Krisis Korea Utara 2013, ia meminta agar pemerintah Korea Utara dan AS menahan diri. Ia menganggap krisis tersebut sebagai keadaan yang "sulit dipercaya dan konyol", dan menurutnya perang tidak akan menguntungkan kedua belah pihak.[332]
Pada Desember 2014, Castro dianugerahi Penghargaan Perdamaian Konghucu dari Tiongkok atas upayanya untuk mencari solusi damai dengan AS dan juga atas upayanya setelah ia pensiun untuk mencegah perang nuklir.[333] Pada Januari 2015, ia secara terbuka menanggapi "Pencairan Kuba", yaitu normalisasi hubungan AS dengan Kuba, dengan menyatakan bahwa meskipun hal tersebut merupakan langkah positif untuk menegakkan perdamaian di kawasan tersebut, ia masih tidak percaya dengan pemerintah AS.[334] Ia tidak bertemu dengan Presiden AS Barack Obama saat Obama berkunjung ke Kuba pada Maret 2016, walaupun ia mengirimkannya sebuah surat yang menyatakan bahwa Kuba "tak butuh hadiah dari kekaisaran".[335] Pada bulan April, ia muncul di muka umum dengan menyampaikan pidato di hadapan Partai Komunis. Ia menyadari bahwa tidak lama lagi ia akan tutup usia, tetapi ia meminta kepada pada hadirin untuk tetap mempertahankan idealisme komunis mereka.[336] Pada September 2016, Castro dikunjungi di rumahnya di Havana oleh Presiden Iran Hassan Rouhani,[337] dan kemudian pada bulan yang sama ia dikunjungi oleh Perdana Menteri Jepang Shinzō Abe.[338]
Stasiun televisi pemerintah mengumumkan bahwa Castro menjemput ajal pada malam tanggal 25 November 2016.[339] Penyebab kematiannya tidak dijelaskan.[340] Presiden Raúl Castro memastikan kebenaran kabar tersebut dengan mengeluarkan sebuah pernyataan singkat: "Komandan utama revolusi Kuba meninggal malam ini pada pukul 22.29".[341] Castro tutup usia hanya dalam selang waktu sembilan bulan setelah kakaknya, Ramón, meninggal pada umur 91 tahun pada bulan Februari.[342] Jenazah Castro dikremasi pada 26 November 2016.[341] Prosesi pemakaman berlangsung di jalan tol utama Kuba dan menempuh jarak hingga 900 kilometer untuk mengikuti rute "Karavan Kebebasan" pada Januari 1959; setelah masa berkabung selama sembilan hari,[343] abunya dikubur di Pemakaman Santa Ifigenia, Santiago de Cuba.[344]
Castro menyatakan dirinya sebagai "seorang sosialis, Marxis, dan Leninis", dan ia mulai mengakui identitas Marxis–Leninis secara terbuka pada permulaan Desember 1961. Sebagai seorang Marxis, Castro berusaha mengubah Kuba dari negara kapitalis yang didominasi oleh imperialisme asing menjadi masyarakat sosialis dan pada akhirnya menjadi masyarakat komunis. Dengan pengaruh dari Guevara, ia berkesimpulan bahwa Kuba tidak perlu melewati tahap-tahap sosialisme dan dapat langsung bergerak menuju komunisme. Namun, Revolusi Kuba sebenarnya tidak sejalan dengan asumsi dasar Marxisme bahwa sosialisme akan diwujudkan melalui revolusi proletar, karena kekuatan-kekuatan yang berada di balik penumbangan Batista berasal dari kelas menengah Kuba. Menurut Castro, suatu negara hanya dapat dianggap sosialis jika alat-alat produksi dikendalikan oleh negara. Maka dari itu, pemahaman sosialisme menurut Castro tidak terlalu berpusat pada siapa yang mengendalikan kekuasaan di suatu negara, tetapi lebih kepada metode distribusinya.
Pemerintahan Castro juga bersifat nasionalis, dan Castro mengumandangkan, "Kami tak hanya Marxis-Leninis, tetapi juga nasionalis dan patriotik". Sejarawan Richard Gott berkomentar bahwa salah satu kunci keberhasilan Castro adalah kemampuannya dalam memanfaatkan tema sosialisme dan nasionalisme. Castro sendiri menganggap Karl Marx dan José Martí sebagai dua tokoh yang sangat memengaruhi pemikiran politiknya, meskipun Gott meyakini bahwa Martí pada akhirnya jauh lebih berpengaruh ketimbang Marx. Castro menganggap gagasan politik Martí sebagai "sebuah filsafat kemerdekaan serta filsafat humanistik yang luar biasa", dan para pendukungnya berulang kali mengklaim bahwa Castro dan Martí memiliki banyak kesamaan.
Seorang penulis biografi Castro yang bernama Volka Skierka menyebut pemerintahan Castro sebagai "sistem "fidelista" yang sangat individual dan sosialis-nasionalis", sementara Theodore Draper mengistilahkan pandangan politik Castro sebagai "Castroisme" dan menganggapnya sebagai perpaduan sosialisme Eropa dengan tradisi revolusioner Amerika Latin. Pakar politik Paul C. Sondrol telah mendeskripsikan pandangan politik Castro sebagai "utopianisme totalitarian", dengan gaya kepemimpinan yang mempergunakan fenomena caudillo di Amerika Latin. Ia juga banyak terilhami dari gerakan-gerakan anti-imperialis di Amerika Latin pada era 1930-an dan 1940-an, termasuk Juan Perón di Argentina dan Jacobo Árbenz di Guatemala. Terkait dengan isu-isu sosial, pandangan Castro relatif konservatif dalam berbagai hal, seperti penolakan terhadap penggunaan narkoba, judi, dan pelacuran, yang ia pandang sebagai kejahatan moral. Selain itu, ia menganjurkan kerja keras, nilai keluarga, integritas, dan disiplin diri. Walaupun pemerintahannya pernah menindas homoseksualitas selama beberapa dasawarsa, dalam sebuah wawancara dengan koran Meksiko La Jornada pada 2010, ia mengaku bertanggung jawab atas segala tindakan penindasan terhadap kaum homoseksual, yang ia sesali sebagai sebuah "ketidakadilan yang besar".[360]
Pemerintahan sementara: 1959
Atas perintah dari Castro, pengacara Manuel Urrutia Lleó yang beraliran moderat dinyatakan sebagai presiden sementara, tetapi Castro mengeluarkan sebuah pernyataan yang sebenarnya salah, bahwa Urrutia telah dipilih melalui "pemilihan umum". Kebanyakan anggota kabinet Urrutia merupakan anggota MR-26-7.[116] Saat memasuki kota Havana, Castro menyatakan dirinya sebagai Perwakilan Angkatan Bersenjata Pemberontak di bawah Kepresidenan, dan lalu ia menetap dan berkantor di Havana Hilton Hotel.[117] Castro sangat berpengaruh terhadap pemerintahan Urrutia, yang merupakan sebuah pemerintahan yang berkuasa dengan mengeluarkan dekret-dekret. Ia berupaya memastikan agar pemerintahan yang baru menjalankan kebijakan-kebijakan pemberantasan korupsi dan buta huruf, serta kebijakan yang mengeluarkan para pendukung Batista dari jabatan-jabatan pemerintahan, termasuk pemecatan anggota Kongres dan pelarangan menduduki jabatan untuk semua orang yang "terpilih" dalam pemilu curang tahun 1954 dan 1958. Ia kemudian mendorong Urrutia untuk mengeluarkan larangan sementara terhadap partai-partai politik, walaupun ia berulangkali menegaskan bahwa mereka akan mengadakan pemilu yang dapat diikuti oleh lebih dari satu partai.[118] Meskipun ia menyangkal tuduhan bahwa ia adalah seorang komunis di hadapan media, ia diam-diam bertemu dengan anggota-anggota PSP untuk membahas rencana pembentukan sebuah negara sosialis.[119]
Kami tidak menghukum mati orang-orang tak berdosa atau lawan politik. Kami menghukum mati para pembunuh dan mereka memang pantas menerimanya.
— Tanggapan Castro terhadap kritikan yang terkait dengan pengeksekusian massal, 1959[120]
Pemerintahan Batista telah membunuh ribuan orang Kuba saat mereka berupaya memadamkan revolusi; Castro dan media-media besar memperkirakan jumlah korban tewasnya mencapai 20.000 orang, tetapi daftar korban yang diterbitkan tak lama seusai revolusi hanya berisi 898 nama, dan lebih dari setengahnya adalah kombatan perang. Perkiraan-perkiraan yang lebih terkini mengeluarkan angka yang berkisar antara 1000 hingga 4000 korban jiwa. Sebagai tanggapan terhadap seruan agar orang-orang yang bertanggung jawab diseret ke meja hijau, Castro membantu mendirikan beberapa pengadilan, yang berujung pada penghukuman mati ratusan orang. Meskipun kebijakan ini populer di dalam negeri, para kritikus (khususnya pers AS) menyatakan bahwa proses pengadilannya sering kali tidak dilaksanakan secara adil. Castro menanggapinya dengan menyatakan bahwa "Pengadilan revolusioner tidak didasarkan pada aturan-aturan hukum, tetapi pada keyakinan moral".[124] Sementara itu, keberhasilan Castro disambut dengan baik oleh banyak orang di Amerika Latin, dan ia lalu berkunjung ke Venezuela untuk bertemu dengan presiden terpilih Rómulo Betancourt, tetapi ia tidak berhasil memperoleh pinjaman dan juga gagal membuat perjanjian pembelian minyak yang baru.[125] Sekembalinya di tanah air, terjadi adu pendapat antara Castro dengan anggota pemerintahan senior. Ia merasa murka setelah mengetahui bahwa pemerintah telah menyebabkan ribuan orang menganggur akibat penutupan kasino dan rumah bordil. Perdana Menteri José Miró Cardona lalu mengundurkan diri, mengasingkan diri di AS, dan bergabung dengan pergerakan anti-Castro.[126]
Invasi Teluk Babi dan "Kuba Sosialis": 1961–1962
[Tidak ada] keraguan mengenai siapa pemenangnya. Posisi Kuba di mata dunia melejit, dan citra Fidel sebagai pemimpin yang sangat dikagumi dan dihormati oleh rakyat jelata Kuba pun menguat. Ketenarannya lebih tinggi daripada sebelum-sebelumnya. Ia sendiri berpikir bahwa ia telah mewujudkan apa yang hanya dapat diangan-angankan oleh generasi-generasi Kuba sebelumnya: ia telah menantang Amerika Serikat dan menang.
— Peter Bourne, biografer Castro, 1986
Pada Januari 1961, Castro memerintahkan Kedutaan Besar AS di Havana untuk mengurangi jumlah anggota stafnya yang mencapai 300 orang, karena ia menduga bahwa banyak dari antara mereka yang menjadi mata-mata. AS menanggapinya dengan mengakhiri hubungan diplomatik dengan Kuba dan meningkatkan pendanaan yang digelontorkan oleh CIA kepada para pembangkang di pengasingan; militan-militan tersebut juga mulai menyerang kapal-kapal yang berdagang dengan Kuba dan meledakkan pabrik-pabrik, toko-toko, dan tempat pengolahan gula.[162] Baik Eisenhower maupun penerusnya, John F. Kennedy, mendukung rencana CIA yang ingin membantu milisi pembangkang "Barisan Revolusioner Demokratik" dalam upaya mereka untuk melengserkan Castro; rencana tersebut berujung pada Invasi Teluk Babi pada April 1961. Pada 15 April, B-26 yang disediakan oleh CIA meledakkan 3 pangkalan udara militer Kuba; AS mengumumkan bahwa para pelakunya adalah pilot angkatan udara Kuba yang membelot, tetapi Castro membongkar kebohongan klaim tersebut.[163] Castro lalu memerintahkan penangkapan 20.000 hingga 100.000 orang yang dituduh kontra-revolusi,[164] dan di depan umum ia mengumandangkan, "Yang tidak dapat diampuni oleh kaum imperialis adalah bagaimana kita telah mengobarkan revolusi Sosialis di pelupuk mata mereka sendiri", dan ini adalah pertama kalinya ia menyatakan bahwa pemerintahannya adalah pemerintahan sosialis.[165]
CIA dan Barisan Revolusioner Demokrat telah menempatkan Brigada Asalto 2506 yang berjumlah 1.400 tentara di Nikaragua. Pada malam tanggal 16-17 April, Brigada 2506 mendarat di Teluk Babi, Kuba, dan kemudian terjadi baku tembak antara mereka dengan milisi revolusioner setempat. Castro memerintahkan Kapten José Ramón Fernández untuk melancarkan serangan balasan, tetapi ia kemudian memimpin pasukan tersebut secara langsung. Setelah Castro berhasil mengebom kapal-kapal milik para penyerang dan memperoleh bala bantuan, Brigada tersebut menyerah pada 20 April.[166] Ia memerintahkan agar 1189 pemberontak yang ditangkap diinterogasi oleh sebuah panel jurnalis dengan disiarkan secara langsung oleh televisi. Ia lalu memimpin proses interogasi tersebut secara langsung pada 25 April. 14 orang dari antara mereka diadili atas kejahatan yang telah dilakukan sebelum revolusi, sementara yang lainnya dipulangkan ke AS untuk ditukar dengan obat-obatan dan makanan senilai U.S. $25 juta.[167] Kemenangan Castro bergaung di dunia, khususnya di Amerika Latin, tetapi juga meningkatkan perlawanan internal, terutama dari golongan menengah Kuba yang ditahan menjelang terjadinya invasi. Meskipun kebanyakan dibebaskan dalam waktu beberapa hari, beberapa di antaranya melarikan diri ke AS dan menetap di Florida.[168]
Untuk mengukuhkan "Kuba Sosialis", Castro menggabungkan MR-26-7, PSP, dan Direktorat Revolusioner menjadi sebuah partai pemerintahan yang berlandaskan pada asas Leninis yang disebut sentralisme demokrat. Partai ini disebut "Organisasi Revolusioner Terintegrasi" (Organizaciones Revolucionarias Integradas – ORI), yang kemudian berganti nama menjadi Partai Kesatuan Revolusi Sosialis Kuba pada 1962.[169] Meskipun Uni Soviet masih meragukan pandangan sosialisme Castro,[170] hubungannya dengan Soviet semakin erat. Castro mengirim Fidelito ke Moskwa untuk bersekolah,[171] para teknisi Soviet datang ke Kuba,[171] dan Castro juga dianugerahi Penghargaan Perdamaian Lenin.[172] Pada Desember 1961, Castro mengakui bahwa ia sudah menjadi seorang Marxis–Leninis selama bertahun-tahun, dan dalam Deklarasi Havana Kedua-nya, ia menyerukan agar Amerika Latin bangkit dan mengobarkan revolusi. Akibatnya, AS meminta Organisasi Negara-Negara Amerika untuk mengeluarkan Kuba; Soviet secara pribadi menegur Castro karena ia dianggap ceroboh, meskipun ia mendapatkan pujian dari Tiongkok.[174] Walaupun Castro cenderung bersimpati secara ideologis kepada Tiongkok, selama terjadinya perpecahan Soviet-Tiongkok, Kuba bersekutu dengan Soviet yang lebih kaya, terutama mengingat bahwa Soviet menawarkan bantuan ekonomi dan militer.[175]
ORI mulai merombak Kuba berdasarkan contoh Uni Soviet; mereka menindas lawan-lawan politik dan orang-orang yang dianggap menyimpang secara sosial, seperti para pelacur dan kaum homoseksual; Castro menganggap aktivitas seksual sesama jenis sebagai sebuah perilaku borjuis.[176] Pria gay dipaksa masuk ke kamp-kamp pertanian yang disebut Satuan Militer untuk Bantuan Produksi (Unidades Militares de Ayuda a la Producción – UMAP); namun, banyak kaum intelektual revolusioner yang mengutuk tindakan ini, sehingga kamp-kamp tersebut ditutup pada 1967, meskipun pria gay masih tetap dipenjara. Pada 1962, ekonomi Kuba mengalami kemunduran akibat manajemen ekonomi yang buruk dan produktivitas yang rendah, yang semakin diperparah oleh embargo dagang AS. Kekurangan pangan memicu protes di Cárdenas.[178] Laporan keamanan menunjukkan bahwa banyak orang Kuba yang mengaitkan keadaan yang sulit tersebut dengan "Komunis Lama" dari PSP, sementara Castro merasa bahwa beberapa tokoh Komunis Lama – yakni Aníbal Escalante dan Blas Roca – terlalu setia kepada Moskwa. Pada Maret 1962, Castro memberhentikan tokoh-tokoh penting "Komunis Lama" dari jabatan mereka dan mencap mereka "sektarian".[179] Dalam hal hubungan pribadi, Castro menjadi semakin sendiri, dan hubungannya dengan Guevara juga retak karena Guevara menjadi semakin anti-Soviet dan pro-Tiongkok.[180]
FAKTA TENTANG AMERIKA SERIKAT
The United States of America (USA) atau yang dikenal sebagai Amerika Serikat merupakan negara yang terletak di bagian utara benua Amerika. Negara yang terdiri dari 50 negara bagian ini memiliki populasi ketiga terbesar di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 300 juta jiwa. Dijuluki sebagai negara adikuasa, USA terkenal memiliki kemampuan yang luas untuk memberikan pengaruh dan kekuasaan dalam skala global; mulai dari segi ekonomi, politik, teknologi hingga budaya. Banyak sekali perusahaan-perusahaan besar dunia yang pendirinya berasal dari Amerika Serikat baik dari sektor teknologi, perbankan dan keuangan, hingga industri kreatif seperti Apple, Google, Facebook, Citibank, Wall Street Journal dan sebagainya. Sebagai negara nomor satu dunia yang memiliki pengaruh besar dalam skala global menjadikan sebagian besar pelajar internasional sangat tertarik untuk menuntut ilmu di negeri Paman Sam ini.
Dengan reputasinya sebagai negara dengan perekonomian termaju di dunia, perekonomian USA didukung oleh ketersediaan sumber daya alam yang melimpah, infrastruktur yang dikembangkan dengan baik, dan sistem pendidikan yang sangat maju. USA juga menjadi negara terdepan dalam bidang ekonomi, budaya, politik, dan pemimpin dalam riset ilmiah dan inovasi teknologi.
Baca Juga : Kuliah di Kanada
Reagan dan Gorbachev: 1980–1989
Pada era 1980-an, ekonomi Kuba kembali mengalami gonjang-ganjing akibat penurunan harga gula dan kegagalan panen pada 1979. Untuk pertama kalinya, pengangguran menjadi masalah serius di Kuba pada masa kepemimpinan Castro, alhasil pemerintah mengirim para pemuda pengangguran ke negara-negara lainnya, terutama Jerman Timur, untuk bekerja di sana. Kuba sangat membutuhkan uang, sehingga pemerintah secara diam-diam menjual lukisan-lukisan dari koleksi-koleksi nasional dan secara ilegal membeli barang-barang elektronik AS melalui Panama. Jumlah orang Kuba yang lari ke Florida terus bertambah, dan mereka dicap "sampah" dan "lumpen" oleh Castro dan para pendukungnya. Dalam suatu kejadian, 10.000 orang Kuba mendatangi Kedutaan Besar Peru untuk meminta suaka, dan akhirnya AS bersedia menerima 3.500 pengungsi. Castro lalu mengumumkan bahwa orang-orang yang ingin pergi dari Kuba dapat mendatangi pelabuhan Mariel. Ratusan perahu datang dari AS, dan kemudian 120.000 orang keluar dari Kuba; pemerintah Castro memanfaatkan keadaan tersebut dengan memasukkan para penjahat, orang sakit jiwa, dan terduga homoseksual ke dalam perahu-perahu yang akan menuju ke Florida. Peristiwa tersebut merusak stabilitas pemerintahan Carter, dan pada 1981 Ronald Reagan terpilih menjadi Presiden AS. Pemerintahan Reagan mengambil pendekatan keras terhadap Castro, dan ia tidak menyembunyikan niatannya untuk melengserkan Castro. Pada akhir 1981, Castro secara terbuka menuduh AS menggunakan senjata biologi untuk memicu wabah demam berdarah di Kuba.
Meskipun Castro membenci junta militer sayap kanan di Argentina, ia mendukung mereka dalam Perang Falkland pada 1982 dan menawarkan bantuan militer kepada Argentina. Castro juga mendukung Gerakan New Jewel yang berhaluan kiri dan merebut kekuasaan di Grenada pada 1979. Castro bersahabat dengan Presiden Grenada Maurice Bishop dan mengirim dokter, guru, dan teknisi untuk membantu proses pembangunan negara tersebut. Pada Oktober 1983, terjadi sebuah kudeta yang dilancarkan oleh seorang Marxis garis keras yang bernama Bernard Coard yang didukung oleh Soviet, dan Bishop kemudian dihukum mati. Castro mengecam pembunuhan tersebut, tetapi ia masih mendukung pemerintahan Grenada. Namun, AS menjadikan kudeta tersebut sebagai dalih untuk menyerang pulau tersebut. Tentara-tentara Kuba tewas dalam konflik ini, dan Castro sendiri mengutuk serangan tersebut dan membandingkan AS dengan Jerman Nazi. Dalam pidato peringatan 30 tahun Revolusi Kuba pada Juli 1983, Castro mengecam pemerintahan Reagan sebagai "kelompok reaksioner dan ekstremis" yang menjalankan "kebijakan luar negeri yang jelas-jelas fasis dan menghasut perang". Castro takut bahwa AS juga akan menyerang Nikaragua, dan ia lalu mengutus Ochoa untuk membekali pasukan Sandinista dengan pelatihan perang gerilya, tetapi hal ini tidak terlalu didukung oleh Uni Soviet.
Pada 1985, Mikhail Gorbachev menjadi Sekretaris-Jenderal Partai Komunis Soviet. Sebagai seorang reformis, ia memutuskan untuk meningkatkan kebebasan pers (glasnost) dan desentralisasi ekonomi (perestroika) dalam upaya untuk memperkuat sosialisme. Seperti kritikus-kritikus Marxis lainnya, Castro khawatir bahwa reformasi tersebut akan melemahkan negara sosialis dan memberikan peluang kepada unsur-unsur kapitalis untuk meraih kekuasaan. Gorbachev sendiri menerima tuntutan AS untuk mengurangi dukungan kepada Kuba, sehingga hubungan Kuba dengan Soviet memburuk. Saat Gorbachev mengunjungi Kuba pada April 1989, ia memberitahukan Castro bahwa perestroika akan mengakhiri pemberian subsidi kepada Kuba. Castro mengabaikan seruan untuk melakukan liberalisasi seperti Gorbachev, dan ia malah semakin membungkam para pembangkang di dalam negeri dan terus mengawasi militer. Sejumlah perwira militer senior, termasuk Ochoa dan Tony de la Guardia, diselidiki atas tuduhan korupsi dan keterlibatan dalam kegiatan penyeludupan kokain. Meskipun muncul seruan untuk memberikan kelonggaran, mereka akhirnya diadili dan dihukum mati pada 1989. Atas nasihat medis yang diberikan kepadanya pada Oktober 1985, Castro tidak lagi menghisap cerutu, dan ini menjadi contoh bagi rakyat Kuba yang lainnya. Pada masa ini, Castro juga giat mengutuk permasalahan utang yang dihadapi oleh negara-negara Dunia Ketiga, dan ia menyatakan bahwa negara-negara ini tak akan pernah dapat terlepas dari utang kepada bank-bank dan pemerintahan Dunia Pertama. Pada 1985, Havana menjadi tuan rumah lima konferensi internasional tentang masalah utang dunia.
Pada November 1987, situasi Perang Saudara Angola semakin menarik perhatian Castro, terutama mengingat bahwa kaum Marxis di situ sedang mengalami kekalahan. Presiden Angola José Eduardo dos Santos berhasil memperoleh lebih banyak pasukan dari Kuba, dan Castro belakangan mengakui bahwa ia lebih banyak memusatkan perhatiannya pada Angola daripada negaranya sendiri, karena ia berpegang teguh dengan keyakinan bahwa kemenangan di Angola akan berujung pada kejatuhan apartheid. Gorbachev menyerukan pengadaan perundingan untuk mengakhiri konflik tersebut, dan pada 1988 diadakanlah sebuah perbincangan antara Uni Soviet, AS, Kuba, dan Afrika Selatan; mereka sepakat agar semua pasukan asing ditarik dari Angola. Castro dibuat murka oleh pendekatan Gorbachev, karena Gorbachev dianggap telah menelantarkan kaum miskin di dunia demi détente dengan Amerika Serikat.
Pada rentang waktu 1989-1991, pemerintahan sosialis di Eropa Timur berjatuhan dan digantikan oleh pemerintahan kapitalis, dan banyak pengamat di Barat yang meyakini hal yang sama akan terjadi di Kuba. Castro semakin terisolasi, sehingga ia memperkuat hubungannya dengan pemerintah sayap kanan Manuel Noriega di Panama (walaupun Castro secara pribadi membenci Noriega), tetapi upaya tersebut tidak lagi bermanfaat setelah AS menyerang Panama pada Desember 1989. Pada Februari 1990, sekutu Castro di Nikaragua, yaitu Presiden Daniel Ortega dan kelompok Sandinista, kalah dalam pemilu melawan Persatuan Oposisi Nasional yang didanai AS. Selain itu, akibat jatuhnya pemerintahan-pemerintahan sosialis, AS meraih suara mayoritas untuk meloloskan resolusi Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengutuk pelanggaran hak asasi manusia di Kuba. Kuba menegaskan bahwa resolusi tersebut adalah perwujudan dari hegemoni AS, dan menolak mengizinkan delegasi penyelidik masuk ke wilayah Kuba.
Mengukuhkan kekuasaan: 1959–1960
Pada 16 Februari 1959, Castro disumpah menjadi Perdana Menteri Kuba.[127] Pada bulan April, ia mengunjungi AS, tetapi Presiden Eisenhower tidak mau menemuinya dan malah mengutus Wakil Presiden Richard Nixon untuk menggantikannya; Castro langsung tidak menyukai Nixon setelah mereka bertemu.[128] Castro lalu melanjutkan kunjungannya ke Kanada, Trinidad, Brasil, dan Uruguay. Ia juga menghadiri sebuah konferensi ekonomi di Buenos Aires, Argentina, dan di situ ia mengajukan usulan agar AS menggelontorkan "Rencana Marshall" senilai $30 miliar untuk Amerika Latin, tetapi usulan tersebut ditolak.[129] Pada Mei 1959, Castro menandatangani hukum Reformasi Agraria Pertama, yang menetapkan batas maksimal luas kepemilikan lahan sebesar 993 ekar (402 hektare) per pemilik, dan melarang orang asing memperoleh kepemilikan lahan di Kuba. Sekitar 200.000 petani mendapatkan surat kepemilikan lahan setelah lahan-lahan besar diredistribusikan; kebijakan ini didukung oleh para buruh, tetapi dibenci oleh golongan pemilik lahan,[130] termasuk ibunya sendiri.[131] Pada masa ini, Castro juga mengangkat dirinya sebagai presiden Industri Pariwisata Nasional. Ia mencoba menarik wisatawan Afrika-Amerika dengan mengiklankan Kuba sebagai tempat wisata tropis yang terbebas dari segala bentuk diskriminasi ras, tetapi upaya tersebut tidak berhasil.[132] Sementara itu, gaji para hakim dan politikus diturunkan, dan gaji PNS rendahan dinaikkan.[133] Pada Maret 1959, ia juga menyatakan bahwa biaya sewa untuk orang-orang yang membayar lebih sedikit dari $100 sebulan akan dikurangi setengah.[134]
Meskipun ia menolak menggolongkan rezimnya sebagai rezim sosialis dan berulangkali menyangkal tuduhan komunis, Castro memberikan jabatan senior pemerintahan dan militer kepada orang-orang yang berhaluan Marxis. Salah satu contohnya adalah Che Guevara yang menjadi Gubernur Bank Sentral dan kemudian juga diangkat sebagai Menteri Perindustrian. Komandan Angkatan Udara Pedro Luis Díaz Lanz sangat tercengang sampai-sampai ia membelot ke AS.[135] Meskipun Presiden Urrutia mengutuk pengkhianatan tersebut, ia mengungkapkan kekhawatirannya terkait dengan kebangkitan Marxisme. Castro pun murka dan lalu mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Perdana Menteri, dan ia menuduh Urrutia telah mempersulit pemerintahannya dengan pandangan "anti-komunisme yang menggebu-gebu". Lebih dari 500.000 pendukung Castro lalu mengepung Istana Presiden dan menuntut pengunduran diri Urrutia. Urrutia memenuhi tuntutan tersebut, dan Castro pada 23 Juli meneruskan jabatannya sebagai Perdana Menteri dan mengangkat Osvaldo Dorticós yang berhaluan Marxis sebagai Presiden.[136]
Pemerintah Castro mengutamakan kebijakan-kebijakan sosial untuk meningkatkan standar hidup rakyat Kuba, walaupun kebijakan itu sering kali mengorbankan pertumbuhan ekonomi.[137] Pemerintahannya sangat mementingkan pendidikan, dan selama 30 bulan pertama pemerintahan Castro, banyak sekolah-sekolah baru yang dibuka. Sistem pendidikan dasar Kuba mulai menawarkan program studi-kerja: separuh waktu dijalani di ruang kelas, dan separuh waktu lainnya dihabiskan untuk melakukan aktivitas produktif.[138] Penyediaan layanan kesehatan juga dinasionalisasi dan diperluas jangkauannya; pusat-pusat kesehatan di pedesaan dan poliklinik di perkotaan dibuka di berbagai wilayah Kuba dan digratiskan. Selain itu, pemerintah Castro menggalakkan vaksinasi untuk mencegah penyakit-penyakit masa kecil, dan tingkat kematian bayi pun berkurang secara drastis.[137] Bagian ketiga dari program sosial Castro adalah pembangunan infrastruktur. Selama enam bulan pertama pemerintahan Castro, 600 mil jalan dibangun di seluruh Kuba, sementara $300 juta digelontorkan untuk proyek penyediaan air dan sanitasi.[137] Lebih dari 800 rumah dibangun setiap bulannya pada tahun-tahun awal pemerintahan Castro dalam upaya untuk memerangi ketunawismaan, sementara tempat penitipan anak dan perawatan penyandang disabilitas dan lansia juga didirikan.[137]
Castro menggunakan radio dan televisi untuk melakukan "dialog dengan rakyat", mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan membuat pernyataan-pernyataan provokatif.[139] Rezimnya masih tetap populer di kalangan buruh, petani, dan mahasiswa, dan ketiganya jika digabung merupakan kelompok mayoritas di Kuba.[140] Di sisi lain, perlawanan biasanya muncul dari kelas menengah; ribuan dokter, insinyur, dan kaum profesional lainnya pindah ke Florida, sehingga terjadilah pelarian sumber daya manusia.[141] Produktivitas pun menurun dan cadangan keuangan negara tersebut terkuras dalam waktu dua tahun.[134] Setelah pers yang berhaluan konservatif bermusuhan dengan pemerintah, serikat percetakan yang pro-Castro mengganggu staf-staf editorialnya, dan pada Januari 1960 pemerintah memerintahkan mereka untuk menerbitkan sebuah "klarifikasi" yang ditulis oleh serikat percetakan di bagian akhir artikel yang mengkritik pemerintah.[142] Pemerintah Castro menangkap ratusan orang yang dituduh kontra-revolusi,[143] dan banyak dari antara mereka yang menjadi ditahan, diperlakukan secara kasar, atau diancam.[144] Kelompok militan anti-Castro (yang didanai oleh orang-orang Kuba di pengasingan, Central Intelligence Agency (CIA), dan pemerintah Dominika) melakukan serangan dan mendirikan pangkalan-pangkalan gerilya di kawasan pegunungan Kuba, sehingga meletuslah Pemberontakan Escambray yang berlangsung selama enam tahun.[145]
Pada 1960, Perang Dingin terus memanas di antara dua negara adidaya: Amerika Serikat, sebuah negara demokrasi liberal kapitalis, melawan Uni Soviet, sebuah negara sosialis Marxis-Leninis yang diperintah oleh Partai Komunis. Castro menyatakan ketidaksukaannya terhadap AS dan memiliki pandangan-pandangan ideologi yang serupa dengan Uni Soviet, sehingga ia membina hubungan dengan beberapa negara yang berhaluan Marxis–Leninis.[146] Castro lalu bertemu dengan Wakil Pertama Perdana Menteri Uni Soviet Anastas Mikoyan, dan ia bersedia untuk memasok Uni Soviet dengan gula, buah-buahan, serat, dan kulit hewan, dan sebagai gantinya Kuba akan memperoleh minyak mentah, pupuk, barang-barang industri, dan pinjaman senilai $100 juta.[147] Pemerintah Kuba memerintahkan agar kilang-kilang minyak di negara tersebut (yang dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan AS) memroses minyak-minyak dari Soviet, tetapi mereka menolaknya akibat tekanan dari AS. Castro menanggapinya dengan menasionalisasikan kilang-kilang tersebut. AS lalu berhenti mengimpor gula dari Kuba, tetapi Castro membalasnya dengan menasionalisasikan sebagian besar aset milik AS di pulau tersebut, termasuk pabrik gula dan bank.[148]
Hubungan antara Kuba dengan AS semakin memburuk setelah terjadinya ledakan kapal Prancis La Coubre di pelabuhan Havana pada Maret 1960. Kapal tersebut mengangkut senjata-senjata yang dibeli dari Belgia, dan penyebab ledakan tersebut tidak diketahui, tetapi Castro secara terbuka menuduh pemerintah AS sebagai dalangnya. Ia mengakhiri pidatonya dengan mengatakan "¡Patria o Muerte!" ("Tanah Air atau Mati!"), sebuah pernyataan yang sering ia kumandangkan pada tahun-tahun berikutnya.[149] Pemerintah AS terinspirasi dengan keberhasilan kudeta Guatemala 1954, sehingga Presiden AS Eisenhower pada Maret 1960 memerintahkan CIA untuk melengserkan pemerintah Castro. Untuk melaksanakan tugas tersebut, CIA diberikan anggaran sebesar $13 juta dan mereka juga diperbolehkan bersekutu dengan Mafia, yang merasa kesal karena pemerintah Castro menutup rumah-rumah bordil dan usaha-usaha kasino mereka di Kuba.[150] Pada 13 Oktober 1960, AS melarang sebagian besar ekspor ke Kuba dan memulai sebuah embargo ekonomi. Sebagai balasannya, Lembaga Nasional untuk Reformasi Agraria (INRA) mengambil alih 383 usaha swasta pada 14 Oktober, dan pada 25 Oktober terdapat 166 perusahaan AS di Kuba yang dinasionalisasi.[151] Pada 16 Desember, AS mengakhiri kuota impor gula dari Kuba, yang merupakan sumber devisa utama Kuba.[152]
Pada September 1960, Castro mendatangi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York City. Ia menginap di Hotel Theresa, Harlem, dan di situ ia bertemu dengan para jurnalis dan aktivis-aktivis seperti Malcolm X. Ia juga bertemu dengan Perdana Menteri Soviet Nikita Khrushchev, dan mereka berdua sama-sama mengutuk kemiskinan dan rasisme yang dialami oleh orang-orang Amerika di kawasan seperti Harlem. Castro dan Khrushchev berhubungan akrab, dan masing-masing dari mereka memulai tepuk tangan saat yang lain selesai berpidato di hadapan Majelis Umum.[153] Castro kemudian dikunjungi oleh Sekretaris Pertama Polandia Władysław Gomułka, pemimpin Bulgaria Todor Zhivkov, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, dan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru.[154] Pada sore harinya, Castro juga diterima di resepsi Fair Play for Cuba Committee.[155]
Sekembalinya di Kuba, Castro takut dilengserkan oleh AS; pada 1959, rezimnya menghabiskan uang sebesar $120 juta untuk membeli persenjataan dari Soviet, Prancis, dan Belgia, dan pada awal 1960 pemerintah Kuba telah menggandakan jumlah tentara Kuba.[156] Ia juga mengkhawatirkan unsur-unsur kontra-revolusi di kalangan tentara, sehingga pemerintah membentuk Milisi Rakyat dengan maksud untuk mempersenjatai warga sipil yang mendukung revolusi, dan untuk itu mereka memberikan pelatihan kepada sekitar 50.000 orang.[157] Pada September 1960, pemerintah Kuba mendirikan Komite Pertahanan Revolusi (KPR), sebuah organisasi sipil nasional yang melakukan aktivitas mata-mata untuk menemukan kegiatan-kegiatan kontra-revolusi, meskipun organisasi ini juga mengadakan kampanye kesehatan dan pendidikan. Pada 1970, sepertiga penduduk Kuba terlibat dalam KPR, dan persentasenya akan terus meningkat hingga mencapai 80%.[158]
Castro menyatakan berdirinya pemerintahan baru yang berasaskan demokrasi langsung, dan berdasarkan sistem ini rakyat Kuba dapat berkumpul dan bergabung dengan unjuk rasa untuk menyatakan kehendak mereka. Castro juga menolak pengadaan pemilu, dan ia mengklaim bahwa sistem demokrasi perwakilan hanya memenuhi kepentingan elit-elit sosio-ekonomi.[159] Menteri Luar Negeri AS Christian Herter kemudian mengumumkan bahwa Kuba telah menerapkan model pemerintahan Soviet dalam bentuk pemerintahan satu partai, penindasan kebebasan sipil, pengendalian serikat-serikat dagang oleh pemerintah, dan ketiadaan kebebasan berbicara dan kebebasan pers.[160]
PendahuluDirinya sendiri (sebagai Perdana Menteri)
PenggantiDirinya sendiri (sebagai Presiden Dewan Menteri)
Fidel Alejandro Castro Ruz
Fidel Alejandro Castro Ruz (bahasa Spanyol: [fiˈðel ˈkastɾo] ( simak); 13 Agustus 1926 – 25 November 2016) adalah seorang pejuang revolusi dan politikus Kuba yang berhaluan komunis. Castro menjabat sebagai Perdana Menteri Kuba dari 1959 hingga 1976 dan sebagai Presiden Kuba sejak 1976 hingga 2008. Selain itu, ia juga mengemban jabatan Sekretaris Pertama Partai Komunis Kuba dari 1965 hingga 2011.
Ia dilahirkan di Birán, Oriente, dengan latar belakang keluarga petani yang kaya. Ia mulai menganut paham anti-imperialisme yang berhaluan kiri saat sedang kuliah hukum di Universitas Havana. Ia pernah ikut serta dalam pemberontakan melawan pemerintahan sayap kanan di Republik Dominika dan Kolombia, dan ia kemudian merencanakan pelengseran Presiden Kuba Fulgencio Batista. Namun, serangannya ke Barak Moncada pada 1953 mengalami kegagalan. Setelah dipenjara selama setahun, Castro pergi ke Meksiko, dan di situ ia membentuk sebuah kelompok revolusioner yang disebut Gerakan 26 Juli bersama dengan adiknya, Raúl Castro, dan juga Che Guevara. Sekembalinya di Kuba, Castro memimpin perang gerilya melawan pasukan Batista di Pegunungan Sierra Maestra. Setelah jatuhnya pemerintahan Batista pada 1959, Castro menjadi Perdana Menteri Kuba dan berkuasa secara militer maupun politik. Amerika Serikat menentang pemerintahan Castro, tetapi segala upaya untuk menumbangkan Castro gagal, termasuk upaya pembunuhan, blokade ekonomi, dan Invasi Teluk Babi tahun 1961. Untuk membalas ancaman-ancaman ini, Castro mendekatkan diri dengan Uni Soviet dan mengizinkan mereka menempatkan senjata nuklir di wilayah Kuba, sehingga terjadilah Krisis Misil Kuba pada 1962.
Dengan berlandaskan pada model pembangunan Marxis-Leninis, Castro mengubah Kuba menjadi negara sosialis satu partai yang dipimpin oleh Partai Komunis. Kebijakan-kebijakannya meliputi perencanaan ekonomi terpusat dan pendanaan yang besar untuk bidang pendidikan dan kesehatan. Kebijakan-kebijakan ini juga diiringi oleh kendali pers oleh pemerintah dan pembungkaman kritik. Di luar negeri, Castro mendukung pemerintahan-pemerintahan yang berhaluan Marxis, seperti pemerintahan Salvador Allende di Chili, Junta Rekonstruksi Nasional di Nikaragua, serta Pemerintahan Revolusioner Rakyat di Grenada. Ia juga mengirim pasukan untuk membantu negara-negara Arab dalam Perang Yom Kippur, Etiopia dalam Perang Ogaden, dan MPLA dalam Perang Saudara Angola. Tindakan-tindakan ini, ditambah dengan posisi Castro sebagai pemimpin Gerakan Non-Blok dari 1979 hingga 1983 dan program internasionalisme medis Kuba, memperkuat martabat Kuba di kancah internasional. Namun, setelah pembubaran Uni Soviet pada 1991, Kuba mengalami kemunduran ekonomi, dan Castro lalu mulai mengemban gagasan-gagasan pro-lingkungan dan anti-globalisasi. Pada era 2000-an, Castro membentuk persekutuan dengan negara-negara Amerika Latin yang dilanda "gelombang merah jambu", khususnya dengan Presiden Hugo Chávez di Venezuela. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-80 pada 2006, Castro menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada adiknya, Raúl. Raúl kemudian secara resmi menggantikannya sebagai presiden pada 2008.
Castro adalah tokoh yang kontroversial. Para pendukungnya memandangnya sebagai pahlawan sosialisme dan anti-imperialisme yang berhasil memperjuangkan keadilan ekonomi dan sosial serta mempertahankan kemerdekaan Kuba dari imperialisme Amerika. Di sisi lain, ia dicap sebagai seorang diktator yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia, keluaran besar-besaran rakyat Kuba, dan kemiskinan ekonomi di negara tersebut. Walaupun begitu, ia telah memperoleh berbagai penghargaan internasional dan berpengaruh terhadap berbagai individu dan kelompok di berbagai belahan dunia.
Castro lahir di luar nikah di lahan pertanian ayahnya pada 13 Agustus 1926.[1] Ayahnya, Ángel Castro y Argiz, adalah seorang pendatang dari Galisia, Spanyol barat laut.[2] Ia memperoleh keuntungan yang besar dari usaha penanaman tebu miliknya di Las Manacas, Birán, Provinsi Oriente.[3] Setelah pernikahan pertamanya kandas, Ángel Castro y Argiz menjadikan pembantu rumah tangganya yang bernama Lina Ruz González (yang berasal dari Kepulauan Kanari) sebagai gundiknya dan kemudian sebagai istrinya; mereka dikaruniai tujuh orang anak, salah satu di antaranya adalah Fidel.[4] Pada saat masih berumur enam tahun, Fidel Castro dikirim ke Santiago de Cuba untuk tinggal dengan gurunya,[5] dan lalu ia dibaptis menjadi seorang Katolik pada usia delapan tahun.[6] Berkat pembaptisannya, Castro diperbolehkan masuk sekolah asrama La Salle di Santiago; di situ ia sering kali berperilaku nakal, sehingga ia dikirim ke Sekoleh Dolores yang dikelola oleh Yesuit di Santiago.[7] Pada 1945, ia pindah ke El Colegio de Belén di Havana yang juga dikelola oleh Yesuit, tetap lebih bergengsi.[8] Meskipun Castro menyukai sejarah, geografi dan debat di Belén, ia bukanlah murid yang unggul secara akademis, dan ia malahan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berolahraga.[9]
Pada 1945, Castro mengambil jurusan hukum di Universitas Havana.[10] Walaupun ia mengakui bahwa ia "buta politik", ia tetap terlibat dalam aktivisme di kampus[11] dan budaya gangsterismo yang penuh kekerasan di universitas tersebut.[12] Ia memiliki pandangan anti-imperialisme dan menentang intervensi Amerika Serikat di kawasan Karibia.[13] Ia sempat mencoba maju menjadi ketua Federasi Mahasiswa Universitas dengan program "kejujuran, kesusilaan, dan keadilan", tetapi ia tidak berhasil.[14] Castro juga menjadi pengkritik tindakan korupsi dan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Ramón Grau, dan ia menyampaikan pidato di muka umum mengenai permasalahan tersebut pada November 1946 yang membuatnya disorot di halaman depan beberapa surat kabar.[15]
Pada 1947, Castro bergabung dengan Partido Ortodoxo, yang didirikan oleh politikus veteran Eduardo Chibás. Sebagai tokoh yang karismatik, Chibás memperjuangkan keadilan sosial, pemerintahan yang jujur, dan kebebasan politik, dan partainya juga membongkar kasus korupsi dan menuntut reformasi. Saat Chibás mencapai peringkat ketiga dalam pemilihan umum 1948, Castro masih tetap berkomitmen membantunya.[16] Namun, kekerasan semakin parah setelah Grau mempekerjakan para pemimpin geng sebagai perwira polisi, dan Castro lalu mendapatkan ancaman kematian yang menuntut agar ia segera meninggalkan universitas. Walaupun begitu, ia menolak untuk tunduk dan mulai membawa senapan dan ditemani oleh rekan-rekannya yang juga dilengkapi dengan persenjataan.[17] Kelak, saat Castro sudah berkuasa di Kuba, para pembangkang anti-Castro menuduhnya terlibat dalam tindakan-tindakan pembunuhan yang terkait dengan geng pada masa itu, tetapi tuduhan ini masih belum terbukti.[18]
Gelombang merah jambu: 2000–2006
Meskipun dirundung masalah ekonomi, Kuba dibantu oleh terpilihnya tokoh sosialis dan anti-imperialis Hugo Chávez menjadi Presiden Venezuela pada 1999. Castro dan Chávez memiliki hubungan yang erat, dan Castro bertindak bagaikan pembimbing dan figur ayah bagi Chávez, dan bersama-sama mereka membentuk sebuah persekutuan yang sangat berdampak terhadap kawasan Amerika Latin. Pada 2000, mereka menandatangani sebuah perjanjian yang menyatakan bahwa Kuba akan mengirim 20.000 tenaga medis ke Venezuela, dan sebagai gantinya Kuba akan memperoleh 53.000 barel minyak setiap harinya dengan harga yang lebih murah; pada 2004, perdagangan tersebut ditingkatkan, dengan Kuba mengirim 40.000 tenaga medis dan Venezuela menyediakan 90.000 barel setiap harinya.[295] Pada tahun yang sama, Castro memprakarsai Misión Milagro, yaitu sebuah proyek medis gabungan dengan Venezuela yang ditujukan untuk menyediakan operasi mata gratis kepada 300.000 orang dari masing-masing negara. Persekutuan tersebut memperkuat ekonomi Kuba, dan pada Mei 2005 Castro menggandakan upah minimum 1,6 juta buruh, menaikkan dana pensiun, dan mengirimkan peralatan dapur baru kepada para penduduk termiskin di Kuba. Namun, permasalahan ekonomi masih belum sepenuhnya terselesaikan; pada 2004, Castro menutup 118 pabrik, termasuk pabrik baja, gula, dan pengolah kertas, akibat kekurangan bahan bakar.[298]
Kuba dan Venezuela menjadi negara pendiri Alternatif Bolivaria bagi Bangsa-bangsa Amerika (ALBA). ALBA ditujukan untuk meredistribusikan kekayaan di seluruh negara anggotanya, melindungi pertanian di kawasan tersebut, dan menentang liberalisasi dan privatisasi ekonomi. ALBA diawali dengan sebuah perjanjian pada Desember 2004 yang ditandatangani oleh kedua negara tersebut, dan diresmikan melalui Perjanjian Dagang Rakyat yang juga ditandatangani oleh Bolivia di bawah kepemimpinan Evo Morales pada April 2006. Castro juga menyerukan penggalakkan integrasi Karibia sejak akhir era 1990-an dan berkata bahwa hanya kerjasama yang lebih kuat di antara negara-negara Karibia yang akan menghindarkan mereka dari dominasi negara-negara kaya dalam ekonomi global.[301][302] Selain itu, Kuba membuka empat kedutaan besar baru di beberapa negara anggota Komunitas Karibia yang meliputi Antigua dan Barbuda, Dominika, Suriname, dan Saint Vincent dan Grenadine. Alhasil Kuba menjadi satu-satunya negara yang memiliki kedutaan besar di semua negara merdeka yang merupakan anggota Komunitas Karibia.[303]
Meskipun hubungan Kuba dengan sejumlah negara-negara Amerika Latin yang beraliran kiri terus membaik, pada 2004 negara tersebut memutus hubungan diplomatik dengan Panama setelah Presiden Mireya Moscoso yang berhaluan tengah mengampuni empat orang Kuba di pengasingan yang dituduh pernah mencoba membunuh Castro pada 2000. Hubungan diplomatik dipulihkan kembali pada 2005 setelah terpilihnya presiden Martín Torrijos yang berhaluan kiri.[304] Selain itu, Castro juga masih terus bermusuhan dengan AS. Namun, setelah Badai Michelle pada 2001 mengakibatkan kerusakan besar, Castro berhasil membuat kesepakatan pembelian pangan dari AS, walaupun ia menolak tawaran bantuan kemanusiaan dari negara tersebut.[305] Castro menyatakan rasa solidaritasnya kepada AS setelah terjadinya serangan 11 September 2001, dan ia juga mengutuk Al-Qaeda dan menawarkan bandara-bandara Kuba sebagai tempat pendaratan darurat bagi pesawat-pesawat AS. Ia sadar bahwa serangan tersebut akan membuat kebijakan luar negeri AS menjadi lebih agresif, dan menurutnya kebijakan semacam itu bersifat kontra-produktif.
Sementara itu, pada 1998, Perdana Menteri Kanada Jean Chrétien tiba di Kuba untuk menemui Castro. Ia menjadi pemimpin pemerintahan Kanada pertama yang mengunjungi pulau tersebut semenjak Pierre Trudeau berkunjung ke Havana pada 1976.[307] Pada 2002, mantan Presiden AS Jimmy Carter mengunjungi Kuba, tetapi di situ ia menyoroti ketiadaan kebebasan sipil di negara tersebut dan menyerukan kepada pemerintah Kuba untuk memperhatikan Proyek Varela yang diprakarsai oleh Oswaldo Payá.
Pemberontakan dan Marxisme: 1947–1950
Aku bergabung dengan rakyat; aku mengambil sebuah senapan di kantor polisi yang hancur akibat kerumunan. Aku menyaksikan revolusi yang terjadi secara spontan... Pengalaman itu membuatku semakin mengaitkan diriku dengan perjuangan demi rakyat. Gagasan Marxis yang baru berkembang di benakku tidak ada hubungannya dengan tindakan kami – ini adalah reaksi spontan sebagai pemuda dengan gagasan Martí, anti-imperialis, anti-kolonialis, dan pro-demokrat.
— Fidel Castro saat sedang membahas peristiwa Bogotazo, 2009[19]
Pada Juni 1947, Castro mendengar kabar mengenai rencana ekspedisi pelengseran junta militer sayap kanan Rafael Trujillo di Republik Dominika.[20] Sebagai Presiden Komite Universitas untuk Demokrasi di Republik Dominika, Castro bergabung dengan ekspedisi tersebut.[21] Pasukannya berjumlah 1.200 orang, kebanyakan adalah orang Kuba dan orang Dominika di pengasingan, dan mereka berencana berlayar dari Kuba pada Juli 1947. Akibat tekanan dari AS, pemerintah Grau berupaya menghentikan ekspedisi tersebut, tetapi Castro dan banyak pengikutnya berhasil lolos dari penangkapan. Sekembalinya di Havana, Castro memimpin demonstrasi mahasiswa yang mengutuk pembunuhan seorang murid SMA oleh petugas keamanan pemerintah. Protes tersebut, yang diiringi dengan tindakan keras yang diambil oleh pemerintah terhadap orang-orang yang dituduh komunis, berujung pada bentrok antara aktivis melawan polisi pada Februari 1948, sehingga Castro mengalami luka berat. Pada masa itu, pidato-pidato publiknya sudah condong ke arah kiri dengan mengutuk kesenjangan ekonomi dan sosial di Kuba. Sebelum itu, ia sering kali mengkritik korupsi dan imperialisme AS.
Pada April 1948, Castro mendatangi Bogotá, Colombia, dengan sekelompok pelajar Kuba yang disponsori oleh pemerintahan Juan Perón dari Argentina. Di sana, pembunuhan seorang pemimpin sayap kiri yang bernama Jorge Eliécer Gaitán Ayala berujung pada merebaknya kerusuhan dan bentrok antara kelompok Konservatif yang memegang kekuasaan dan didukung oleh tentara melawan kelompok Liberal yang berhaluan kiri.[25] Castro bergabung dengan kelompok Liberal dan ia mencuri persenjataan dari sebuah kantor polisi, tetapi penyelidikan polisi yang diadakan setelahnya menunjukkan bahwa Castro sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan manapun.[25] Sekembalinya di Kuba, Castro menjadi tokoh penting dalam unjuk rasa menentang rencana kenaikan harga tiket bus.[26] Pada tahun yang sama, ia juga menikahi Mirta Díaz Balart, seorang mahasiswi dari keluarga kaya, dan dari pernikahannya itu ia dapat melihat secara langsung gaya hidup kelompok elit di Kuba. Hubungan tersebut murni atas dasar cinta, meskipun keluarga dari masing-masing pihak sama-sama menentangnya, tetapi pada akhirnya ayah Díaz Balart memberikan mereka sepuluh ribu rolar untuk menjalani bulan madu selama tiga bulan di New York City.[27]
Marxisme mengajarkanku apa itu masyarakat. Aku bagaikan seorang pria yang tertutup matanya di hutan, yang bahkan tidak tahu di mana utara atau selatan. Jika kamu pada akhirnya tidak memahami sejarah perjuangan kelas, atau setidaknya gagasan yang sangat jelas terlihat bahwa masyarakat terbagi menjadi yang kaya dan miskin, dan bahwa beberapa orang menundukkan dan memperalat yang lainnya, [maka] kamu tersesat di hutan, tidak mengetahui apa-apa.
— Fidel Castro mengenai Marxisme, 2009[28]
Pada tahun yang sama, Grau memutuskan untuk tidak lagi ikut pemilu, dan pesta demokrasi tersebut kemudian dimenangkan oleh calon Partido Auténtico yang baru, yaitu Carlos Prío Socarrás.[29] Prío harus menghadapi demonstrasi massal setelah para anggota MSR (yang kini bersekutu dengan polisi) membunuh Justo Fuentes, yang merupakan teman Castro. Alhasil Prío bersedia menumpas geng-geng di Kuba, tetapi ternyata mereka terlalu kuat.[30] Cara pandang politik Castro sendiri semakin bergerak ke arah kiri, dan ia sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Ia menganggap masalah-masalah yang dihadapi oleh Kuba sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat kapitalis, atau "kediktatoran borjuis", dan bukan kegagalan akibat politikus yang korup, sehingga ia mulai menganut paham Marxis bahwa perubahan politik yang berarti hanya dapat diwujudkan lewat revolusi proletariat. Selain itu, ia juga aktif dalam kampanye anti-rasisme yang dilancarkan oleh mahasiswa setelah ia mengunjungi kawasan-kawasan termiskin di Havana.[31]
Pada September 1949, Mirta melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Fidelito, sehingga pasangan tersebut pindah ke sebuah apartemen yang lebih besar di Havana.[32] Castro masih tetap aktif di dunia politik dan bahkan bergabung dengan Gerakan 30 September yang terdiri dari kaum komunis dan anggota Partido Ortodoxo. Tujuan kelompok tersebut adalah untuk melawan geng-geng yang menggunakan kekerasan di universitas; namun, Prío gagal mengendalikan keadaan, dan ia malah menawarkan pekerjaan di kementerian-kementerian negara kepada para anggota senior geng-geng tersebut.[33] Castro secara sukarela menyampaikan pidato atas nama Gerakan 30 September pada tanggal 13 November yang membongkar perjanjian rahasia pemerintah dengan geng-geng. Hal ini menarik perhatian media nasional, tetapi geng-geng tersebut mengamuk dan Castro pun terpaksa bersembunyi, mula-mula di wilayah pedesaan dan kemudian di AS.[34] Sekembalinya di Havana beberapa minggu kemudian, Castro berusaha untuk tidak menarik perhatian orang, dan ia memusatkan perhatiannya pada kuliahnya, hingga akhirnya ia lulus dengan gelar Doktor Hukum pada September 1950.[35]
Kemandekan ekonomi dan politik Dunia Ketiga: 1969–1974
Castro merayakan sepuluh tahun pemerintahannya pada Januari 1969, dan selama perayaan tersebut ia menyampaikan pidato yang memperingatkan rakyat tentang kemungkinan pemberlakukan penjatahan gula, yang menunjukkan bahwa Kuba tengah mengalami kesulitan ekonomi. Pada 1969, banyak tanaman yang rusak berat akibat badai, dan untuk memenuhi kuota ekspornya, pemerintah mengerahkan tentara, memberlakukan sistem tujuh hari kerja seminggu, dan menunda hari-hari libur untuk memperpanjang panen. Saat kuota produksi tahunan tidak terpenuhi, Castro menawarkan pengunduran dirinya dalam sebuah pidato yang disampaikan di muka umum, tetapi massa yang berkumpul meminta agar ia tetap bertahan. Walaupun tengah menghadapi permasalahan ekonomi, banyak program reformasi sosial Castro yang disukai oleh rakyat, termasuk program pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pembangunan jalan, serta kebijakan-kebijakan "demokrasi langsung". Castro juga meminta bantuan dari Soviet, sehingga dari 1970 sampai 1972, para ekonom Soviet membantu merombak ekonomi Kuba dan mendirikan Komisi Kerja Sama Ekonomi, Ilmiah, dan Teknis Kuba-Soviet, sementara Perdana Menteri Soviet Alexei Kosygin sendiri melakukan kunjungan ke Kuba pada 1971. Pada Juli 1972, Kuba bergabung dengan Komekon (Comecon), sebuah organisasi ekonomi negara-negara sosialis, meskipun hal tersebut semakin membatasi ekonomi Kuba pada sektor pertanian.
Pada Mei 1970, awak-awak dua perahu nelayan Kuba diculik oleh kelompok pembangkang Alpha 66 yang berbasis di Florida, dan mereka menuntut agar Kuba membebaskan para militan yang ditahan. Akibat tekanan dari AS, para sandera tersebut dibebaskan, dan Castro menyambut mereka sebagai pahlawan. Pada April 1971, Castro dikutuk oleh dunia internasional karena telah memerintahkan penangkapan penyair pembangkang Heberto Padilla; Padilla pada akhirnya dibebaskan, tetapi pemerintah mendirikan Dewan Kebudayaan Nasional untuk memastikan agar kaum intelektual dan seniman tetap mendukung pemerintahan.
Pada 1971, Castro mengunjungi Chili. Di negara tersebut, Presiden Salvador Allende yang berhaluan Marxis baru saja terpilih menjadi kepala koalisi sayap kiri. Castro mendukung reformasi sosialis Allende, tetapi memperingatkannya perihal keberadaan unsur-unsur sayap kanan dalam militer Chili. Peringatan ini terbukti dua tahun kemudian, karena pada 1973, militer melancarkan kudeta dan mendirikan sebuah junta militer yang dipimpin oleh Augusto Pinochet. Pada 1972, Castro mengunjungi Guinea untuk bertemu dengan Presiden Sékou Touré yang beraliran sosialis, dan ia memujinya sebagai pemimpin Afrika terbesar. Ia kemudian melakukan kunjungan selama tujuh minggu ke negara-negara berhaluan kiri: Aljazair, Bulgaria, Hungaria, Polandia, Jerman Timur, Cekoslowakia, dan Uni Soviet. Dalam setiap kunjungannya, ia selalu ingin mendatangi para pekerja pabrik dan pertanian, dan di hadapan umum ia memuji pemerintahan negara yang ia kunjungi; di balik tirai, ia meminta agar negara-negara tersebut membantu gerakan-gerakan revolusioner di wilayah lain, terutama para pejuang Perang Vietnam.
Pada September 1973, ia kembali ke Aljir untuk menghadiri KTT Gerakan Non-Blok (GNB) Keempat. Berbagai anggota GNB mengkritik kehadiran Castro, karena menurut mereka Kuba telah berhaluan ke Pakta Warsawa, sehingga seharusnya tidak ikut konferensi tersebut. Di konferensi tersebut, ia memutus hubungan diplomatik dengan Israel atas dasar hubungan erat negara Yahudi tersebut dengan AS dan rasa perhatian Castro kepada bangsa Palestina. Alhasil Castro memperoleh penghormatan dari dunia Arab, terutama dari pemimpin Libya Muammar Gaddafi yang menjadi teman dan sekutunya. Saat berlangsungnya Perang Yom Kippur pada Oktober 1973 antara Israel melawan sebuah koalisi Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah, Kuba mengirim 4.000 pasukan untuk membantu Suriah. Kemudian, setelah Castro meninggalkan Aljir, ia melakukan kunjungan ke Irak dan Vietnam Utara.
Ekonomi Kuba mengalami pertumbuhan pada 1974 berkat harga gula yang tinggi di pasar dunia dan pinjaman-pinjaman baru dari Argentina, Kanada, dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Sejumlah negara Amerika Latin menyerukan agar Kuba kembali diterima di Organisasi Negara-negara Amerika, dan AS akhirnya menuruti permintaan tersebut pada 1975 sesuai dengan nasihat dari Henry Kissinger. Pemerintah Kuba lalu melakukan restrukturisasi dengan mengikuti model Soviet, dan ia mengklaim bahwa hal ini akan semakin memperkuat demokratisasi dan mengurangi kekuasaan Castro. Ia lalu mengumandangkan secara resmi status Kuba sebagai sebuah negara sosialis. Kongres Nasional Partai Komunis Kuba yang pertama digelar, dan sebuah konstitusi baru yang menghapuskan jabatan Presiden dan Perdana Menteri juga diberlakukan. Namun demikian, Castro masih menjadi tokoh yang dominan di pemerintahan; ia menjadi kepala Dewan Negara dan Dewan Menteri yang baru saja dibentuk, sehingga ia menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.